Arsitektur Ruko: warisan sejarah dan tradisi budaya bermukim
Setiadi Sopandi
Artikel
ini mencoba mengetengahkan fenomena ‘ruko’ sebagai sebuah subjek
penelitian dalam kerangka proses pencarian jati diri budaya arsitektur
lokal maupun regional (di era globalisasi). Kesempatan ini digunakan
untuk mencoba mengetengahkan berbagai peran penting keberadaan ruko
sebagai sebuah elemen dan warisan tradisi perkotaan khas tak terpisahkan
di kawasan ini dan perannya dalam merepresentasikan dinamika tradisi
dan modernisasi kehidupan perkotaan. Namun ruko, dalam perkembangannya,
juga sekaligus merupakan sebuah ironi perkotaan kontemporer Indonesia.
Berawal dari sejarah sosial politik Indonesia yang tidak kondusif,
eratnya hubungan ruko dengan etnisitas menjadikan keberadaan ruko tidak
terlalu banyak diperhatikan dalam wacana-wacana ilmiah maupun keseharian
sehingga hal ini seringkali luput dari telaah kritis. Maka dari itu,
tulisan ini ditujukan untuk membuka fakta-fakta (dan juga berbagai
interpretasi) yang selama ini terabaikan meski pada hakikatnya memiliki
nilai-nilai yang penting dan menentukan dalam perkembangan dan
perencanaan lingkungan. Kecuali di Indonesia, tipologi ruko tidak pernah
absen dari perhatian para pengamat budaya perkotaan dan arsitektur di
kawasan ini, khususnya di Semenanjung Malaya. Bahkan di Singapura,
tipologi bangunan yang banyak menjamur sejak pertengahan abad ke-19 ini
bagaikan simbol kebudayaan negara tersebut. Di sana, ruko tampil menawan
dengan dekorasi ‘gado-gado’-nya yang mengawinkan elemen-elemen desain a
la Barat, Cina, Melayu, dan India sehingga banyak diinterpretasikan
sebagai ikon melting pot sang kota bandar internasional.
Malaysia pun tak segan menempatkan ruko sebagai bagian dari khazanah
budaya nasional seperti halnya rumah tradisional Melayu (lihat gambar
3). Terlebih lagi, pemeliharaan dan pengembangan bangunan-bangunan ini
pada masa kini ternyata mampu memberikan dukungan signifikan pada
industri pariwisata.
Keberadaan
ruko secara historis dapat dirunut sejak berkembangnya kota-kota
pesisir di Cina Selatan ketika perdagangan maritim Asia mencapai masa
keemasannya (lihat gambar 4 & 5). Perkembangan ruko dipacu oleh
maraknya aktivitas ekonomi kota-kota ini, ruko juga disebarkan ke
berbagai tempat oleh migrasi orang-orang Cina. Pada awalnya, ruko-ruko
ini hanyalah merupakan konstruksi sederhana untuk memenuhi kebutuhan
akan perlindungan dari cuaca. Gubuk-gubuk ini berderet di
kampung-kampung pesisir yang merupakan pelabuhan tempat orang dari
berbagai budaya dan suku bertemu dan berinteraksi. Di kampung-kampung
imigran inilah budaya bermukim baru diperkenalkan. Kota-kota Asia
Tenggara, sebelumnya lebih didominasi pola bermukim agraris dengan warna
kosmologi Hindu yang kental, mulai dihiasi tempat-tempat yang toleran
dan dinamis yang memungkinkan masuknya paham-paham dan ide-ide baru.
Kepadatan penduduk juga mulai berkembang sebagai sebuah fenomena
bermukim. Sempitnya lahan dan besarnya kepentingan mengkondisikan
masyarakat pendatang pada saat itu untuk menyesuaikan persepsi akan
fisik hunian mereka, sehingga lahirlah pola-pola permukiman yang padat
dan terukur sebagai perkembangan lanjut dari pola-pola permukiman desa
yang renggang dan tidak terukur pasti. Menurut sejarahwan Denys Lombard[2] maupun sosiolog perkotaan Hans-Dieter Evers[3],
hal inilah yang membedakan pola pecinan di kota-kota pesisir dengan
karakter hunian (misalnya) Jawa atau Melayu. Mereka berpendapat bahwa
pola geometris, pasti dan terukur, yang diwujudkan lewat lajur-lajur
ruko merupakan kekhasan utama kawasan pecinan. Denys Lombard secara
khusus melihat pecinan menampilkan apa yang menjadi kekhasan kehidupan “hiper-urban”
yang padat dan konsep-konsep ‘arsitektur baru’ yang diperkenalkan pada
masyarakat pribumi. Lombard juga menganggap teknologi bangunan batu,
metode konstruksi kayu, perabot-perabot rumah tangga, dan budaya
bermukim di dalam ruko secara khusus sebagai sumbangan berharga
kebudayaan Cina bagi Nusantara yang diperkenalkan sebelum tata kota dan
bangunan khas Eropa diperkenalkan.
Ruko
sebagai sebuah kategori arsitektur ‘diresmikan’ pada era kolonial di
mana masyarakat dibagi-bagi ke dalam kelas-kelas berdasarkan ras: Eropa,
Timur Asing, dan Pribumi. Di Hindia Belanda pembagian ini
dimanifestasikan dengan diberlakukannya Wijkenstelsel (1835-1915) yang mengatur pembagian kelompok hunian yang terpisah (lihat gambar 11, 12, & 13). Wijkenstelsel juga diperkuat dengan diberlakukannya sistem larangan bepergian Passenstelsel
(1863) yang secara praktiknya lebih diperuntukkan untuk golongan Cina.
Pembagian ini mendukung sistem ekonomi Hindia Belanda yang memperlakukan
golongan-golongan ini sebagai elemen sistem produksi dan distribusi.
Masyarakat Eropa menikmati keleluasaannya di puncak piramida ini dengan
memanfaatkan masyarakat Cina yang lebih berperan sebagai mediator.
Sedangkan masyarakat Pribumi tetap berperan di sektor produksi pertanian
(terlebih pada masa tanam paksa, Cultuurstelsel, 1830-1870).
Pada abad ke-19 pola ini berjalan dan mampu menghasilkan pemandangan
kota yang khas, yaitu keberadaan zone-zone permukiman etnis yang juga
sesuai dengan fungsi-fungsinya. Masyarakat Cina terkonsentrasi padat di
pecinan (yang merupakan sentra dagang dan bisnis), masyarakat Eropa
mendominasi lewat gedung-gedung pemerintahan dan rumah-rumah mewah yang
indah, sedangkan masyarakat Pribumi tersebar di daerah pinggir kota
maupun di pusat-pusat kekuasaan tradisional.
Dalam
konteks tulisan ini, penulis mencoba berfokus pada tipologi ruko-ruko
yang dibangun/ populer pada kurun waktu paruh kedua abad ke-19 hingga
paruh pertama abad ke-20, yang tumbuh subur di kota-kota kolonial ini.
Istilah ruko sendiri diduga berasal dari terjemahan langsung istilah ”tiam-chu” yang berasal dari dialek Hokkian (yang berarti ‘toko-rumah’).[4]
Karena adaptif dan praktis, ruko-ruko ini berkembang sesuai dengan
kondisi tempatnya berada. Sebuah ruko dapat memiliki lebar hanya 4 meter
dengan kedalaman hingga 30 meter, bahkan dermaga khusus untuk bongkar
muat barang. Intervensi kebijakan perencanaan kota juga turut membentuk
karakter lokal, seperti misalnya pemerintah kolonial Inggris di
Semenanjung Malaya mengharuskan adanya “five-foot-way” (arcade, jalur kaki lima) di setiap muka ruko yang diperuntukan sebagai area sirkulasi publik (lihat gambar 3).
Tak
kalah penting, keberadaan kehidupan di dalam ruko-ruko telah memberikan
banyak sumbangan penting pada budaya bermukim perkotaan lewat
konsep-konsep dan teknologi rumah tangga. Lombard menyebutkan dengan
gamblang sejumlah teknik-teknik umum dimanfaatkan di Jawa, seperti
misalnya penggunaan istilah-istilah seperti ‘loteng’ dan ‘ubin’ yang
diduga kuat berasal dari kebudayaan Cina.[5]
Namun tak bisa dipungkiri bahwa kebudayaan masyarakat Cina di
perantauan juga dipengaruhi banyak oleh budaya lokal maupun Eropa
seiring perkembangan zaman dan interaksi antar budaya. Berikut ini
adalah beberapa konsep penting yang merupakan ciri khas tipologi ruko
pada awal abad ke-20.
Ruko
memiliki ruang-ruang yang relatif tipikal, yang dapat secara mudah
dimanfaatkan untuk bermacam fungsi. Umumnya bagian depan digunakan
sebagai tempat untuk berusaha. Dalam budaya bermukim kota di Indonesia,
pada awalnya kita mengenal “toko” sebagai sebuah konsep tradisional yang
berbeda dengan konsep toko yang ditawarkan oleh konsep pertokoan modern
(lihat gambar 10). Menurut Denys Lombard, “toko” (yang berasal dari “tu ku” (土庫), kata yang dalam bahasa Mandarin maupun Hokkian berarti serupa; di Bahasa Melayu digunakan istilah kedai)
dikenal di sebagai sembarang ruangan tempat barang dagangan ditumpuk
tanpa aturan jelas, tempat di mana sang pemilik/ penjaga toko melewati
harinya, sebelum etalase/ meja pajang diperkenalkan.[6]
Toko juga sering terbuka lebar ke ruang umum pada siang hari, dan
dipisahkan oleh papan-papan tegak pada malam hari. Di ruko-ruko ini
keluarga tidak hanya merupakan sebuah hubungan keturunan dan kekerabatan
tetapi juga merupakan sebuah perusahaan kecil. Tak jarang ruko-ruko
juga berfungsi sebagai sebuah perusahaan yang menjalankan kegiatan
produksi, administrasi, dan distribusi di bawah satu atap. Dalam
kesempatan-kesempatan khusus, misalnya kematian anggota keluarga,
ruangan toko dapat berlaih fungsi sebagai ruang jenazah di mana
masyarakat dan kerabat memberikan penghormatan dan doa. Ruko-ruko abad
ke-19, dalam kehidupan perkotaan masa itu, membentuk aktivitas di jalan
dan menciptakan pusat-pusat keramaian yang secara khas hanya dapat
dijumpai di pecinan. Gaya hidup semacam inilah yang telah menghidupi
pusat-pusat keramaian kota-kota di Indonesia selama ratusan tahun hingga
keberadaannya kini terancam oleh pusat-pusat perbelanjaan dan
perumahan-perumahan modern yang menggunakan kapital besar. Tanpa
langsung disadari, hilangnya toko-toko ini mengakibatkan matinya
lorong-lorong kota dan terciptanya jalan-jalan yang sepi karena
pindahnya keramaian ke bangunan-bangunan mal yang monolit, ketimbang
hingar bingarnya toko-toko dan kaki-lima yang beragam. Ini merupakan
pertanda matinya sebuah warisan budaya kota dan juga identitas kita
(lihat gambar 8).
Biasanya ruko memiliki sebuah elemen penting lain yang dinamakan “chimchay” (“dalam-sumur”, dari bahasa Hokkian). Elemen ini diduga merupakan pengembangan konsep “tianjing” (“langit-sumur”, 天井
dari Bahasa Mandarin) yaitu sebuah area terbuka yang ‘netral’ di
tengah-tengah rumah tradisional Cina (secara singkat dapat disamakan
dengan ‘courtyard’, seringkali disebut sebagai ‘airwell’ maupun ‘lightwell’). Chimcay
sendiri pada awalnya merupakan area umum yang berfungsi sebagai pusat
dari berbagai aktivitas sehari-hari seperti memasak, mandi, mencuci,
bersosialisasi, maupun praktek ritual dan tradisi (dengan keberadaan
altar leluhur). Karena berubahnya pandangan mengenai kebersihan dan
kesehatan maka fungsi-fungsi yang ‘kotor’ dan ‘basah’ (seperti dapur,
jamban, dan kamar mandi) akhirnya dipindahkan ke bagian belakang. Selain
sebagai pusat kegiatan, chimcay merupakan elemen yang esensial
karena berfungsi sebagai tempat pertukaran udara dan masuknya sinar
matahari ke bangunan ruko yang gelap. Chimcay juga kadang berfungsi sebagai tempat sumur dan penampungan air hujan. Fisik
ruko pun bervariasi seiring dengan perkembangan waktu dan letak
geografis. Karena tingginya curah hujan di Bogor, misalnya,
mengakibatkan chimcay yang sering dijumpai di ruko-ruko di kota
lain jarang ditemukan. Sebagai gantinya, ‘ruang tengah’ ditutupi oleh
atap yang diangkat untuk tetap membiarkan aliran udara dan sinar
matahari tetap masuk (lihat gambar 2).
Ruko-ruko awal abad
20 juga merupakan bukti-bukti pergeseran sosial budaya penghuninya.
Namun diperkenalkannya konsep-konsep bermukim baru tidak serta merta
meninggalkan tradisi dan konsep-konsep lama. Penghormatan pada leluhur
yang merupakan tradisi masyarakat Cina tetap ditampilkan lewat altar dan
ritual sembahyang meski dalam bentuk yang disederhanakan. Konversi ke
agama Kristen juga tidak langsung menghapuskan tradisi ini. Singkat
kata, seiring dengan berbagai perubahan sosial dan benturan kebudayaan,
produk-produk budaya era ini dapat menampilkan begitu banyak kualitas
seni dan keunikan yang tidak kita jumpai sebelum maupun dengan jauh
sesudahnya (masa kini) sehingga produk era ini menjanjikan banyak hal
yang dapat kita pelajari sebagai fakta sejarah maupun pelajaran yang
berguna. Pada abad ke-19, ruko-ruko di pecinan mengambil bentuk yang
khas sebagai manifestasi dari proses akulturasi dan terapan (budaya dan
teknologi) sehingga menjadikannya ikon penting dalam sejarah sosial
modern.
Perkembangan
tipologi ruko tidak begitu saja terhenti dewasa ini seiring dengan
pergantian zaman dan rejim politik karena di hampir seluruh kota di
kawasan ini, baik ruko tua maupun ruko yang baru dibangun masih memenuhi
daerah-daerah padat komersial (baik di dalam pecinan maupun di luar).
Karena harga tanah yang tinggi berkat lokasi strategis dan iklim ekonomi
perkotaan dunia ketiga, ruko masih merupakan solusi yang sesuai dengan
menawarkan kapasitasnya sebagai bangunan multifungsi berkepadatan
menengah dan dengan fleksibilitas tinggi. Tetapi pada dasawarsa 1970 dan
1980, seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat, ruko-ruko dengan
konsep yang sama sekali baru bermunculan di berbagai sentra-sentra
ekonomi kota dengan tidak lagi dihalangi oleh kebijakan zone etnis.
Setelah
melalui salah satu krisis terburuk dalam sejarah modern Indonesia,
politik asimilasi Orde Baru secara efektif melarang segala bentuk
ekspresi ‘ke-Cina-an’ di muka publik sehingga mengakibatkan banyak
pecinan mengalami krisis identitas. Banyak klenteng ‘berubah’ menjadi
vihara, banyak yang mengalami penurunan kualitas fisik karena posisinya
terjepit oleh kemunculan bangunan-bangunan baru dan penataan fisik yang
tidak mendukung. Asosiasi dan organisasi yang ekslusif dibubarkan.
Demikian halnya dengan perayaan-perayaan tahunan masyarakat Cina yang
akhirnya hilang selama sekitar 30 tahun (sebelum muncul lagi beberapa
tahun belakangan ini). Hilangnya elemen-elemen pembentuk identitas
kawasan juga menyebabkan hilangnya identitas etnis pada ruko-ruko, yang
sekaligus memperkuat fungsinya sebagai bangunan komersial. Fungsi hunian
juga lambat laun tidak lagi dapat diakomodasi oleh pecinan karena
kondisi lingkungan yang tidak mendukung dan persepsi yang berubah (lihat
gambar 8 & 9). Ruko-ruko ini akhirnya muncul sebagai usaha
spekulasi properti. Banyak pengembang lebih memilih untuk mengembangkan
sebuah lahan untuk satu deret ruko daripada mengembangkannya untuk
sebuah rumah tinggal. Ruko-ruko ini, meski masih memakai istilah ‘ruko’,
tidak lagi berfungsi dominan sebagai tempat tinggal tetapi lebih
diperuntukan sebagai tempat usaha yang fleksibel, mudah dibangun, dan
murah. Dengan sendirinya ruko-ruko ini juga mengabaikan konsep-konsep
tradisional yang dulu vital bagi sebuah hunian dan kehilangan kualitas
individualitas. Hasilnya adalah ruko-ruko seragam monoton yang tersebar
di berbagai pelosok kota menggeser fungsi-fungsi hunian ke pinggiran
kota. Diabaikannya konsep ‘chimcay’ juga mengakibatkan
ruko-ruko jenis baru ini tidak sesuai dengan iklim tropis yang panas dan
lembab. Selain itu, keberadaan ruko-ruko ini pada skala lingkungan
telah merubah karakter fisik kota secara drastis. Karena ruko-ruko lama
sudah tidak lagi diminati orang, banyak ruko-ruko baru menggantikan
ruko-ruko lama yang termakan usia. Akselerasi perubahan karakter
ruko-ruko di pecinan juga dipacu oleh kebijakan perencanaan kota modern
Indonesia yang mendorong dibangunnya tipologi-tipologi baru seperti pada
kasus Bogor maupun Bandung. Namun kecenderungan yang bertolak belakang
terjadi (misalnya) di Padang dan Palembang, pemindahan aktivitas ekonomi
(pasar) dari kawasan kota lama ke sentra ekonomi baru menjadikan
matinya kehidupan pecinan dan kawasan kota lama. Ruko-ruko lama rusak
dan tidak lagi diperbaharui menjadikan kawasan pecinan ditinggal
penghuni dan dibiarkan menjadi kawasan hitam yang rawan.
Ironis
jika mengingat bahwa negara-negara tetangga kita mampu memelihara aset
budaya ini menjadi potensi pariwisata sementara kota-kota Indonesia
justru mengabaikan keberadaan tipologi ini. Padahal secara geografis,
Indonesia memiliki kota-kota yang lebih bervariasi yang memiliki ragam
ruko yang jauh lebih kaya. Maka dari itu, dengan modal ini, sudah
sepatutnya jika paling tidak kita mulai menengok dan memperhatikan
kelangsungan warisan budaya perkotaan kita.
by ; https://handelstraat.wordpress.com
by ; https://handelstraat.wordpress.com

0 Response to "Arsitektur Ruko: warisan sejarah dan tradisi budaya bermukim"
Posting Komentar